Minggu, 19 Juni 2011

Tenggelam di ujung senja dan tak mungkin lagi kembali. Itulah matahari di sore hari, tak ada yang terlihat begitu bahagia kecuali para bintang yang bergembira kemudian menari di langit malam yang cerah. Sekejap mata berkedip kemudian kembali melihat indahnya bintang yang berkilauan bagaikan berlian bermandikan cahaya. Namun, mereka memancarkan bukan bermandikan. Mereka terus bertambah akibat tumbukan galaksi yang semakin meluas tak berujung.

Melihat setitik cahaya di gelapnya malam tanpa bulan, mungkin tak seindah malam-malam bersamanya. Namun, tarian bintang terus berlanjut tanpa memperdulikan waktu yang terus berlalu. Sedikit demi sedikit bulan hilang dipertengahan bulan september yang dingin, angin bertiup tapi dia masih duduk di atas batu harapan yang dia khayalkan sendiri.

Tak begitu lama dia beranjak karena cahaya komet telah menghilang di ufuk timur. Tetesan embun memberikan aroma pagi yang sejuk bersama bunyi tetesan hujan di pagi subuh itu. Seakan tak mau berakhir dia akan melanjutkannya dalam mimpi. Berkendara bersama komet mungkin akan membuatnya cepat tua, setidaknya begitu yang dikatakan einstein tentang relativitas. Namun, siapa perduli. Itulah mimpinya.

Tak begitu lama dia masuk ke mimpi yang justru begitu aneh. Dia berada di sebuah perang yang berkobar diantara rumahnya dan rumah kerabatnya. Dia hanya menangis dan begitu ketakutan menghadapinya. Sesaat dia terjebak dalam sesaknya nafas akibat bantal yang menutup hidungnya. Tapi mimpinya belum berakhir, dia tidak berlari atau ikut perang. Mungkin terlalu takut atau memang dia seorang pengecut.

Bangun dari mimpi adalah hal yang aneh. Semua kejadian hebat yang baru saja terjadi ternyata hanya mimpi. Dalam hatinya dia bersyukur, karena dia bukan seorang prajurit pikirnya. Hidup bukanlah hal yang harus dibuang begitu saja, semua latihan bela diri yang dilakukan prajurit hanya berakhir dengan sebuah ujung tombak yang melekat tepat di jantung yang sedang memompa darah ke seluruh tubuh, berharap empunya terus hidup. Namun, sang jantung tak kuat lagi menahan desakan tombak yang tajam dan keras. Kemudian sang jantung berhenti. Untuk itukah hidup seorang prajurit? Pikirnya.

Dia masih terlalu kecil untuk memikirkan arti rasa bangga karena menjadi pahlawan. Dia hanya seorang anak yang senang menatap bintang di langit luas yang dihiasi bulan dan awan di antaranya. Berlari dan terus berlari di padang rumput tempatnya biasa bermain, tapi pikirannya melayang ke mimpi yang dia impikan semalam. Seakan semuanya menjadi nyata di matanya.

Melihat temannya berlari ke arahnya, dia melupalakan apa yang dia pikirkan. Mereka telah bersama sejak mereka bisa saling mengenal. Kebahagian adalah yang mereka rasakan setiap mereka bersama. Mungkin perang akan berhenti jika semua orang merasakan kebahagaian saat mereka bersama. Kemanapun mereka melangkah mereka selalu bahagia. Kehidupan bukanlah sesuatu yang harus ditangisi, setidaknya bagi mereka. Mungkin mereka tak mengetahui siapa orang tua mereka. Mereka hanya tau satu sama lainnya ada dan saling mengisi.

Saat ini mereka menuju bukit untuk melihat pemandangan terindah yang mereka bisa rasakan di dunia tempat mereka berdiri. Mimpi mereka adalah terbang, berharap mereka bisa mengepakan sayap dan merasakan aliran udara yang mengalir diantara bulu yang menyelimuti sayap mereka. Merasakan lembutnya awan, walau mereka tidak tahu bagaimana dan dari apa awan tercipta. Mereka hidup di pikiran mereka. Hidup adalah kebahagian bagi mereka. Menurutnya tertawa adalah obat segala penyakit yang tercipta dari kekuasaan maha dahsyat yang di miliki sang kuasa.

Hamparan karpet hijau terpampang sejauh mata mereka memandang, seakan apa yang mereka lihat saat itu adalah lukisan yang begitu indah yang diciptakan oleh sang kuasa pikirnya. Mungkin sang kuasa adalah seorang pelukis pikirnya.

Berjam-jam mereka berada di atas pohon, membicarakan dunia yang mereka pikir tak sesempit yang saat ini ada di depan matanya. Yang ada diluar kampungnya mungkin lebih indah lagi dari yang saat ini bisa dia lihat. Namun, mereka takut. Mereka adalah pemimpi bukan pemberani.
Ketika saatnya tiba, mungkin mereka akan jadi pemuda yang gagah dan tampan. Tapi saat ini mereka hanyalah pemimpi. Memimpikan keluar dari kehidupan yang membelennggu dan bahagia menjalaninya bersama sahabat sejatinya.

Disunyinya hutan terdengar sayup-sayup gelak tawa yang datang dari sebuah pohon paling tinggi yang ada di hutan. Tapi terdengar suara lain yang memecah kesunyian hutan, suara perut Sora terdengar sangat keras dari sebuah perut seukurannya. Mereka kembali tertawa disunyinya hutan.
Bergegas mereka menuruni satu demi satu dahan yang bisa diraih oleh kaki mereka. Mungkin kaki tidak memiliki mata, namun kaki mereka bisa melihat dahan dan menuruninya begitu cekatan. Sesampainya di tanah, mereka terburu-buru mencari pohon buah terdekat yang terbayang olehnya. Ini mudah sekali ditebak, mereka berlari ke pohon buah pir termanis yang pernah mereka temui.

Hutan bukanlah tempat yang menyeramkan, selama di wilayah yang mereka tandai. Mereka memperluasnya seiring bertambahnya umur mereka. Beberapa tahun yang lalu mereka hanya berada beberapa meter dari parimeter terluar desa. Saat ini mereka sudah berada di air terjun impian, sekali lagi dipikiran mereka. Mereka begitu tertarik dengan apa yang mereka pikirkan, memikirkan detik yang berhenti, bintang yang digenggam, berjalan di pelangi dan hal-hal yang mungkin tak pernah di pikirkan oleh orang-orang di desanya.

Sesekali mereka membuat yang mereka impikan dan banyak kegagalan yang mereka rasakan. Sakit, jelas sakit. Tapi, mereka tetap tertawa dan bahagia karenanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar